Pendidikan Karakter

by 11.34.00 0 komentar
Pendidikan Karakter Bukan Suatu yang Baru di Sumatera Barat
(dimuat di harian haluan 17 Januari 2012)

Berbagai wacana pro dan kontra mengenai pendidikan semakin gencar bermunculan, banyak perspektif yang digunakan dalam memandang penting atau tidaknya pendidikan karakter diterapkan untuk merubah kecacatan moral yang terjadi di negeri ini. Penulis berpendapat ada beberapa hal yang perlu kita cermati dalam pendidikan karakter.

Penulis adalah orang yang sepakat dengan pepatah minang “kaciak taraja-raja, gadang tabao-tabao, gaek tarubah tidak”. Sangat filosofis dan bermakna luas jika kalimat yang memperlihatkan bagaimana sebuah proses pembentukan karakter yang terjadi di Minangkabau kita pahami lebih dalam.
Penulis berpendapat bahwa pembentukan karakter seseorang melewati beberapa proses dan tahapan. Tahapan pertama, adalah penanaman sistem nilai yang memberikan acuan dalam melakukan penilaian pembandingkan terhadap sesuatu. Kedua, pembentukan sikap, dimana proses penilaian dan pembandingan yang telah dilakukan oleh seseorang akan membentuk sebuah respon berupa sikap terhadap stimulus yang berasal dari lingkungan. Ketiga, adalah proses pembentukan perilaku, dimana hasil dari respon sikap terhadap stimulus menciptakan sebuah perilaku seseorang. Keempat, tahapan pembentukan karakter, sebagai sebuah hasil paripurna dari tahapan-tahapan pembentukan karakter yang berasal dari perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus yang biasa kita sebut dengan kebiasaan. Faktor internal berupa sistem nilai dan faktor eksternal berupa lingkungan memberikan pengaruh yang significant terhadap kebiasaan seseorang yang akan membentuk karakternya.
Tanpa mengurangi esensi ilmu dari mahzab-mahzab ilmu pendidikan yang sedang berkembang didunia hari ini, penulis berpendapat bahwa metode pembentukan karakter yang paling baik dan relevan dipakai didaerah Sumatera Barat adalah mengacu pada pepatah kaciak taraja-raja, gadang tabao-tabao, gaek tarubah tidak”
Kaciak taraja-raja (kecil terajari), bisa dipahami sebagai sebuah proses doktrinisasi terhadap seorang anak, dimana ia diberikan setumpuk nilai-nilai kebenaran. Sehingga ia memiliki suatu acuan dan sudut pandang dalam membandingkan dan menilai sesuatu sebagai suatu yang benar atau salah, baik atau buruk, dan indah atau tidak indah. Dalam istilah filsafat, idientik kita mengenal kata-kata tersebut dengan istilah penilaian etika, logika, dan estetika. Penanaman sistem nilai tersebutlah yang menjadi bagian terpenting dan pondasi awal (faktor internal) bagi seseorang manusia dalam pembentukan karakternya.
Tahapan ini tentu dimulai dari lingkungan terdekat dari anak tersebut, mulai dari keluarga, lingkungan masyarakat (sosial), dan lingkungan pendidikan. Adalah keniscayaan untuk orang tua dalam mengajarkan yang benar bagi anak-anaknya, akan tetapi proses interaksi anak tersebut dengan lingkungan sosial dan pendidikan juga memberikan pengaruh yang sangat besar dalam penanaman nilai-nilai tersebut. Satu hal yang menjadi tuntutan bagi orang tua adalah bagaimana caranya orang tua dari anak tersebut melakukan proteksi terhadap sistem nilai yang salah agar tidak menjadi suatu acuan yang dianggap benar oleh si anak. Ada beberapa sistem nilai yang dapat diberikan kepada si anak sebagai pembanding sistem nilai yang benar dan sistem nilai salah. Diantaranya adalah sistem nilai yang berasal dari nilai-nilai agama, nilai-nilai budaya dan tentu saja nilai-nilai hukum yang berlaku. Karena itulah sistem “babaliak kasurau” juga menjadi sangat relevant dalam menunjang pembentukan karakter. Karena sistem pendidikan disekolah hari ini, terutama yang tidak berbasis agama, menurut penulis belum memberikan komposisi yang cukup dalam memberikan penanaman nilai-nilai agama terhadap anak-anak.
Gadang tabao-bao (remaja ikut-ikutan), sebagai proses lanjutan dari pembentukan karakter, proses ini memberikan representasi bahwa pada tahap menuju remaja, diasumsikan seseorang sudah memiliki sebuah sistem nilai dalam dirinya. Sehingga dalam proses interaksi social yang lebih dalam, ia sudah bisa menyusun sebuah ide dan gagasan dalam melakukan penilaian dan perbandingan berupa respon terhadap stimulus-stimulus dari lingkungan. Dalam proses ini, si anak yang telah beranjak remaja akan melakukan proses penilaian ulang terhadap sistem nilai dalam dirinya (faktor internal) dengan realita yang ada (faktor eksternal). Faktor eksternal ini, bisa berasal dari pengalaman pribadi atau orang lain dan ilmu pengetahuan yang ia peroleh dari bangku pendidikan ataupun bacaan-bacaan yang beredar bebas dan luas saat ini. Pada proses ini orang tua, dituntut untuk memberikan control terhadap sistem nilai yang telah ditanamkan.
Gaek raubah tidak (dewasa tidak terubah), tahapan ini merupakan proses paripurna dari pembentukan karakter seseorang. Dimana sistem nilai yang tertanam dan telah melewati proses perbandingan dan penilaian dengan realita, dimana proses perbandingan dan penilaian tersebut akan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor keingingan dan kebutuhan. Jika kebutuhan dan keinginan lebih kuat dibandingkan dengan sistem nilai yang ada dalam diri seseorang, akan membuat sistem nilai tersebut hancur, sehingga secara sikap, perilaku, dan karakterpun akan berubah.
Jika karakter yang dibangun seseorang tidak memiliki sebuah konsistensi dan berubah-ubah, serta cenderung menyesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan maka penulis lebih sepakat menyebut seseorang tersebut tidak berkarakter. Dan wajar, jika istilah-istilah seperti “pemimpin tidak berkarakter”, yang menimbulkan analogi “bangsa yang tidak berkarakter” bermunculan dan disebut dimana-mana saat ini.
Jadi penulis berkesimpulan bahwa sistem pendidikan karakter, sebenarnya ditelah diterapkan di Minangkabau dari dahulu. Hanya saja kita sering terlupa untuk memahami pesan-pesan yang disampaikan oleh orang orang tua melalui pepatah-pepatah seperti “kaciak taraja-raja, gadang tabao-bao, gaek tarubah tidak”, dan bahkan sudah ada solusi terhadap permasalahan tersebut yaitu “babaliak kasursau” dan mengintensifkan pembentukan karakter ini pada masa anak-anak dan remaja dimulai dari lingkungan-lingkungan terdekat. Pesan-pesan tersebut tentu bertujuan untuk mempertahankan citra Sumatera Barata sebagai produsen tokoh-tokoh hebat seperti Moh. Hatta, M. Yamin, Natsir, Tan Malaka, dan banyak yang lainnya.


baronisme

Developer

Ini hanya tulisan lepas landas, tak berEYD, tak berteori.

0 komentar: